Selasa, 27 Maret 2012

Wanita Idaman Ikhwan

Ikhwan akhwat yang sedang mencari pendamping hidup bacalah uraian berikut… Malu bertanya sesat di jalan…
Ikhwan, jika kalimat ikhwan dicerna dari segi bahasa Arab maka akan berarti lelaki, namun Negara kita Indonesia merupakan Negara yang mempunyai bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia, olehnya itu jika masyarakat mendengar kata ikhwan itu berarti sangat erat kaitannya dengan agama Islam, dengan demikian, pengertian ikhwan adalah lelaki yang senantiasa taat menjalankan Agama Allah, syariat Islam, dan melaksanakan perintah Allah serta menjauhi laranganNYA.
Ikhwan yang bersifat insani tentunya mengidam-idamkan wanita, yang bakal memperkokoh keimanan kepada Allah SWT, seiring berkembangnya roda era globalisasi maka tentunya untuk menemukan wanita yang benar-benar shalihah mungkin sudah sangat sulit atau jarang.
Ya, wanita shalihah, sebab telah ma’ruf bahwa sungguh mulia wanita yang shalihah. Di dunia, ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan umat. Para ikhwan yang cerdas bakal memikirkan masa depan bukan dari segi dzahir saja namun akan berpikir juga masa depan dunia dan akhirat dengan memilih wanita shalihah maka akan melahirkan anak shalih yang akan berbakti, mendoakan orang tua jika sudah berpindah ke pangkuan ilahi. Nah, sekrang timbul pertanyaan, seperti apakah wanita shalihah itu…?

Pengertian Wanita Shalihah
Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah”. (HR. Muslim). Wanita shalihah adalah wanita yang bertaqwa, yaitu yang taat pada Allah dan Rasul-Nya. Wanita yang bertaqwa adalah selalu melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauh diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah, baik sebagai seorang anak, seorang istri, anggota masyarakat, dll.
Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki mukmin di dunia ini, maka kita akan melihat kebangkitan dunia Islam untuk mampu memimpin dunia, seperti baginda Rasul di belakang beliau terdapat wanita shalihah ummul mukminin Khadijah Radhiyallahu anha.
Wanita adalah tiang Negara. Bayangkanlah, jika tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah. Tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.
Wanita shalihah akan selalu berusaha melaksanakan syariat Islam dengan sepenuh kekuatan imannya. Dia akan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilalloh) dengan memperbanyak ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah, menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, bergaul dengan sesama manusia dengan muamalah yang sesuai syariat Islam, serta selalu memelihara diri agar tidak berbuat maksiat (perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya).

Kriteria Wanita Shalihah
Wanita shalihah menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Ia mampu memelihara rasa malu sehingga segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Wanita shalihah terlihat dari perbuatannya selalu berusaha sesuai dengan syariat Islam, yaitu sesuai Al Qur’an dan hadits nabi. Al-Quran surat An-Nur: 30-31, Allah SWT memberikan gambaran wanita shalihah sebagai wanita yang senantiasa mampu menjaga pandangannya dan menutup auratnya.
“… Maka wanita shalihah ialah yang taat kepada Allah serta memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena Allah telah memelihara (mereka) …” (QS. An-Nisa’: 34)
Wanita shalihah akan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya,
Wanita shalihah adalah wanita yang mampu memelihara rasa malu, malu kepada Allah jika melanggar  aturan-aturan Allah dalam Al-Qur’an terutama saat ini seakan akan manusia selalu mengejar model pakaian tanpa menghiraukan apakah modelnya sudah sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Wahai saudari-saudariku yang cantik, yang manis, malulah kepada Allah dan jangan mempermalukan dirimu sendiri atau menzhalimi diri sendiri, jika sudah paham bahwa menutup aurat, taat kepada suami, orang tua  maka jangan pernah merasa malu untuk melaksanakannya sebab itu jalan menuju syurga Allah SWT.
Banyak wanita bisa menjadi sukses, tetapi tidak semua bisa menjadi shalihah, bahkan wanita bisa menjadi fitnah terbesar bagi kaum laki-laki, yang membuat laki-laki semakin menjauh dari Allah dan menyeret mereka ke jurang neraka jahannam, na’u dzubillahi min dzaaliik. Begitu pula dengan sebaliknya banyak lelaki yang bisa sukses tetapi tidak semua bisa menjadi lelaki shalih.
Sekarang para ikhwan, jika ingin memilih wanita untuk dijadikan sebagai pasangan hidup makan pilihlah sesuai dengan wasiat Rasulullah dalam sabdanya:
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat untuk memilih wanita yang memiliki dien (agama) yang baik sebagai ukuran keshalihan seorang wanita. Bukan kecantikan, kedudukan, atau hartanya.
Wahai para Ikhwan ataupun akhwat ketahuilah bahwa wanita yang menjadi idaman seorang ikhwan adalah, wanita yang berkriteria seperti berikut:
Dari Abu Hurairah Rhodiyalloohu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena dien (agama)-nya. Maka pilihlah yang memiliki dien (Agama) maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nah… bagi ikhwan yang sedang dalam pencarian pasangan hidup tidak usah bimbang, bingung, mau jadi orang yang beruntung…? Pilihlah seperti yang diwasiatkan Rasulullah di atas, insya Allah itulah yang terbaik.
Dan bagi Akhwat yang disayangi oleh Allah mau jadi wanita pilihan para Ikhwan maka peliharalah, hiasilah kehidupanmu dengan Syariat Islam senantiasalah Istiqamah menjalankan Agama Allah jangan risau soal jodoh sebab semuanya sudah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, dan jangan terbawa arus model-model kehidupan yang tidak termaktub dalam syariat.
Ketahuilah bahwa Ikhwan sangat menyukai wanita shalihah, bersifat penyayang, perhatian, lemah lembut, cantik, tidak pemarah, dan tentunya memakai jilbab yang syar’i.
Sungguh mulia wanita yang shalihah. Di dunia, ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan umat.
Sebelum penulis mengakhiri goresan ini sebuah tetesan tinta dari Negeri Seribu Benteng Maroko, mohon maaf jika terdapat kesalahan. Tak ada niat lain melainkan hanya untuk saling mengingatkan, semoga bermamfaat. Wallahu A’lamu Bishowab.

Dosa(mu) Adalah Alasan Mengapa Harus Berdakwah

Begitu banyak generasi muda Islam yang -seharusnya menjadi penggerak dakwah menuju kejayaan Islam- menjadikan dosa-dosa yang mereka lakukan sebagai alasan untuk meninggalkan lapangan dakwah. Padahal kemunduran mereka sama sekali tidak membuat keadaan dakwah ini menjadi lebih baik, tapi justru secara tidak langsung mereka telah menjadi “musuh” yang menghambat pergerakan dakwah dengan sikap apatis mereka.
Fenomena ini adalah sebuah kesalahan yang sangat diwaspadai. Jangan sampai semangat untuk beramar ma’ruf nahi munkar menjadi pudar hanya karena dosa dan kesalahan di masa lalu. Bukankah Allah SWT telah berfirman,
“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS. An-Nur: 21)
Maka, jangan sampai kita berhenti beramar ma’ruf nahi munkar dengan alasan kita adalah seorang pendosa. Abul Faraj Ibnul Juazi mengatakan, “Sungguh, Iblis telah berhasil membujuk rayu sebagian ahli ibadah. Dia melihat kemungkaran, tetapi tidak mengingkarinya dan tidak mencegahnya. Lalu orang tadi berkata, ‘Yang mencegah kemungkaran dan menyuruh kebaikan adalah orang yang sudah bagus dan baik. Sementara saya belum baik betul, bagaimana mungkin saya menyuruh orang lain?’ Hal ini adalah sebuah kesalahan, karena dia seharusnya (tetap) mencegah kemungkaran dan menyuruh kepada yang ma’ruf.”
Seorang lelaki pernah berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Apakah seseorang itu tetap bertahan terus sampai dia sempurna, kemudian baru mendakwahi manusia?”
Imam Ahmad menjawab, “Siapakah orang yang sempurna? Tetaplah berdakwah kepada manusia.”
Begitu pun dengan yang diwasiatkan Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah kepada Abul Qasim Al-Maghribi, “Bahwa seorang hamba pasti melakukan kesalahan dan dosa adalah sebuah kemestian yang ada pada seorang hamba. Namun dia harus meminta ampun kepada Allah, sehingga seseorang tidak beralasan (untuk tidak melakukan kebaikan), hanya karena ia telah berdosa”.
DR. A’idh al-Qarni, seorang ulama yang sangat besar perhatiannya terhadap dakwah dan generasi muda Islam saja pernah menemui seorang pelaku dosa dan memintanya agar aktif dalam lapangan dakwah pada Allah, agar dia ikut andil berceramah, ikut serta dalam beramar ma’ruf nahi munkar atau pengajian. Agar ia juga aktif memberikan kata-kata yang sejuk dan baik serta ikut dalam menasihati saudara-saudaranya. Beliau melakukan hal ini dengan sebuah alasan yang sangat baik, “karena setiap orang -walaupun pendosa sekalipun-, pantas dan berhak untuk berdakwah dan berceramah kepada manusia”. Tentunya sesuai dengan kapasitasnya.
Pertanyaannya, bukankah itu sama halnya dengan munafik?
Jawabannya, TIDAK! Mereka yang tetap beramar ma’ruf nahi munkar -walaupun mereka memiliki “kekurangan”- adalah mereka yang -Insya Allah- akan dibersihkan dan disucikan dari dosa yang telah mereka kerjakan. Bukankah Rasulullah saw. Telah bersabda -hadits ke-18 dalam Hadits Arba’in- :
“Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlaq yang baik”
Bukankah dakwah -menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan- merupakan sebuah kebaikan yang dapat menghapus dosa? Bukankah orang yang istiqamah dalam berdakwah akan lebih malu bermaksiat kepada Allah sehingga hidupnya senantiasa terarah pada jalan yang diridhai-Nya?
Ya, setiap kita pernah berbuat kesalahan… Tapi sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat. Dan dakwah tentunya dapat menjadi sarana taubat terhadap dosa dan keburukan yang telah dikerjakan. Terakhir, sebelum mengakhiri catatan singkat ini marilah sama-sama kita renungkan sabda Rasulullah SAW dalam Shahih Muslim
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau sekiranya kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kamu. Kemudian Allah akan mendatangkan kaum selain kamu. Mereka berbuat dosa, dan mereka meminta ampun kepada Allah, lalu Allah mengampuni mereka.” (H.R. Muslim)

Saat Dakwah Adalah Pekerjaan Merangkul Orang

Pak Astim, begitulah kami sebagai warga biasa memanggilnya. Dia adalah salah seorang warga di RW kami yang berprofesi sebagai akademisi. Saat ini beliau telah menjadi seorang Profesor di sebuah perguruan tinggi yang ada di Bandung. Tentunya hal ini adalah kabar gembira bagi kami yang tinggal se-RW dengan beliau. Demikian pula dengan istrinya yang juga seorang akademisi di kampus yang sama dengan beliau.
Menjadi seorang profesor adalah sebuah pencapaian tersendiri, dan tentunya ada semacam tanggung jawab keprofesian dan pengabdian di balik gelar tersebut. Kira-kira begitulah yang terpikir oleh beberapa pengurus masjid yang juga (kebanyakan) adalah sarjana, termasuk saya. Saya pun berharap para akademisi (seperti Pak Astim) di RW kami bisa bergabung, turut aktif mengembangkan syiar di RW, dan kalau memungkinkan, untuk tingkat kecamatan. Terlebih lagi Pak Astim yang seorang profesor, pasti akan terasa sangat berbeda bila beliau memberikan masukan-masukan bagi kinerja dakwah Masjid Baitul Hikmah, masjid tempat kami aktif.
“Coba lah kita saling merangkul, terutama warga yang belum aktif menjadi jama’ah kita! Memang beliau bukan aktivis seperti kita-kita yang latar belakangnya guru agama, aktivis kampus, atau aktivis ormas dan pergerakan, namun bagaimanapun juga beliau adalah seorang profesor, seorang yang berilmu. Pastilah sumbangsih saran dari orang macam beliau ini amat kita butuhkan. Lagipula ini adalah dakwah, pantasnya kita merangkul semua kalangan dalam menjalankan pekerjaan (dakwah) ini.” Begitulah pesan Pak Ketua DKM di sela-sela obrolan petang selepas shalat Maghrib.
Begitulah yang dikatakan Pak Ketua DKM, begitu pula yang dilakukan oleh beliau. Selama beberapa tahun terakhir ini, Pak Ketua DKM terus-menerus tanpa bosan berusaha untuk merangkul dan memberikan ‘tempat’ tersendiri bagi Pak Astim di jama’ah masjid ini. Bila saat shalat berjama’ah tiba, beliau merangkul pundak Pak Prof yang canggung, malu-malu, seakan enggan untuk langsung mengambil shaf pertama. Begitulah cara beliau untuk turut mengajak Pak Prof supaya mau menempati shaf pertama, shaf paling istimewa bagi laki-laki dalam shalat. Tak jarang beliau sampai menarik lengannya ‘memaksa’ Pak Prof yang malu-malu untuk percaya diri menempati shaf pertama.
Tidak berhenti sampai di situ. Bila menjelang Ramadhan, Pak Ketua DKM selalu meminta penyusun jadwal penceramah Tarawih untuk memasukkan nama Pak Prof dalam Daftar Jadwal Penceramah. Kenapa demikian? Meski Pak Prof tidak memiliki pengalaman dalam aktivitas syiar keislaman, Pak Ketua DKM percaya bahwa ilmu yang dimiliki Pak Prof terlalu berharga untuk tidak disampaikan kepada umat. Atas alasan itulah, Pak Ketua DKM bersikeras menginginkan nama Pak Prof tercantum sebagai salah satu penceramah. “Ini juga sebagai rasa penghargaan dan penerimaan kita pada beliau sebagai jama’ah di RW ini.” Begitu kata Pak Ketua DKM.
Saya tak begitu ingat kapan Pak Prof mulai dirangkul untuk turut aktif di masjid kami. Cara yang paling sederhana untuk tahu bahwa seseorang aktif di masjid kami adalah dengan melihatnya saat shalat-shalat berjama’ah. Terutama subuh, Maghrib, dan Isya. Tak ketinggalan, juga pada saat ada pertemuan, rapat, atau syura pengurus. Saya hanya tahu bahwa nama Prof. Astim telah sejak lama dicantumkan dalam jadwal penceramah tarawih setiap Ramadhan. Namun rasanya baru tahun ini (2011) melihat beliau jadi sering shalat berjama’ah di masjid. Bahkan di suatu subuh, beliau tampak segar dan berbahagia menempati sebuah shaf sembari tersenyum lebar menyalami saya yang berdiri di sebelahnya. Apakah ini pertanda bahwa beliau telah merasa menjadi bagian dari keluarga penghidup masjid ini? Andai benar demikian, syukurlah. Selamat datang Pak Prof, selamat datang anggota keluarga baru kami. Mari kita bersama-sama menghidupkan Islam di bumi-Nya ini.
Begitulah bagaimana Pak Prof akhirnya menjadi bagian dari aktivis masjid ini. Sebuah perjalanan yang panjang hanya demi merangkul beliau yang malu-malu, canggung untuk berkenan aktif di masjid. Begitulah upaya yang dicontohkan oleh Pak Ketua DKM. Terus, terus, dan terus merangkul orang lain untuk turut memakmurkan masjid dan berpartisipasi dalam dakwah. Kami mulai belajar bahwa dengan cara seperti inilah jama’ah masjid semakin bertambah. Dalam bahasa Sosiologi, itulah yang dimaksud dengan ‘efek bola salju’. Semakin jauh menggelinding, semakin besar. Banyak orang yang penasaran, bertanya tentang “bagaimana membuat efek bola salju?” padahal ternyata caranya sungguh sederhana, hanya sekedar merangkul, merangkul, dan merangkul.
Teruslah merangkul! Karena bukankah dakwah ini adalah merangkul orang untuk memilih jalan-Nya?